Minggu, 29 Desember 2013

Perdagangan Perempuan dalam jaringan pengedaran narkotika

Perdagangan perempuan dalam jaringan pegedaran narkotika
Oleh Nabela Ilma Yenisa
Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
nabelailmayenisa@ymail.com

Abstrak

Pada mulanya terjadi kasus penjebakan terhadap perempuan,modus tersebut dalam pengedaran narkotika yaitu mengerahkan perempuan secara pasif untuk dijadikan budak atau kurir.Hal itu terjadi karena seorang perempuan dilihat dari segi fisik adanya stereotyping masyarakat bahwa karena seksualitasnya,perempuan akan tidak mudah dicurigai jika membawa barang-barang ilegal ,mudak dikorbankan,tidak memiliki akses kepada informasi,dan biasanta berada pada posisi rentan ,yaitu sebagai survivor dalam mengatasi kemiskinan keluarga,sehingga muncul bentuk kejahatan baru dalam pengedaran narkotika.Perempuan tersebut sengaja dijadikan pacar ,istri,atau teman terdekat supaya perempuan tersebut tidak curiga dengan maksud yang ingin di lancarkan oleh sang pelaku.Setelah semuanya berjalan dengan lancar otomatis peredaran narkotika semakin merebak di Indonesia.

Kata kunci : perempuan , narkotika,model penyaluran,transaksi.

1.Pendahuluan

Maraknya perdagangan manusia dan pengedaran narkotika yang saat ini melibatkan perempuan sebagai korban.Banyak faktor yang mempengaruhi perempuan sebagai korban dalam kasus pengerdaran narkotika melalui korban perempuan yang sudah diteliti.Korban perempuan yang terlibat bukan hanya perempuan asing perempuan Indonesia pun ikut terlibat dalam bisnis narkotika ini.Kasus ini juga dikarenakan laki-laki memanfaatkan kondisi ekonomi dan psikologi perempuan yang memerlukan bantuan untuk memenuhi kebutuhannya sebagai ibu atau sebagai anak perempuan yang harus membantu orang tuannya.Bahkan dalam kasus ini ada perempuan yang menerima kekerasan dari orang yang menjerumuskan dalam perdagangan narkotika.Pada umumnya terjebak dalam hubungan personal berupa pacaran,perkawinan,atau terjebak utang,bahkan sampai ada perepmuan yang mendapatkan kekerasan dari pelaku.
            Contoh dari masalah perdagangan perempuan dalam jaringan pengedaran narkotika yang melibatkan perempuan asing sebagai korban yaitu kebanyakan dari golongan ekonomi menengah kebawah,labil secara psikolgis dan perempuan yang usianya relatif muda.Perempuan asing yang terdapat dalam LPWT ,ada yang berkewarganegaraan Thailand,Myanmar dan Nigeria.Informan perempuan dalam penelitian ini  adalah SH berkebangsaan Myanmar (kasus 1),CP berkebangsaan Thailand (kasus 2) dan sebagainnya.
            Selain itu adapun kasus yang melibatkan perempuan di Indonesia yang kasusnya sama seperti perempuan asing contoh kasusnya yaitu kasus yang menimpa EYS (23 tahun).Ia masih sangat muda.Anak dari seorang janda dengan tiga orang anak.Semula ia bekerja disebuah departemen store.Di tempat ia bekerja ,ia dikenal dengan seorang pelanggan yang membawanya pada tahap pacaran.Ia terbujuk membawa narkotika dalam sebuah tas,yang tidak ia ketahui sebelumnya apa isinya.setelah ia menjalani hubungan dengan pria tadi yang pria itu mengaku bahwa ia memiliki toko pakaian di Tanah Abang.Akhirnya perempuan tadi tertangkap polisi barulah terungkap bahwa pria itu sesungguhnya adalah drug dealer.Vonis yang dijatuhkan kepada EYS yaitu hukuman mati.
            Dari kedua contoh diatas menggambarkan bahwa ekonomi,adanya kecenderungan paa perempuan untuk mempercayai orang yang telah dikealnya baiksebagai teman,kekasih maupun sebagai suaminyasehingga permintaan untuk dapat membantu diterimanya tanpa curiga dan juga tidak ada keberanian perempuan untuk menuntut penjelasan dari orang lain.
            Sehingga banyaknya kasus perdagangan perempuan dalam jaringan pengedaran narkotika saat ini membuat banyak perempuan terpuruk karena mempunyai rasa takut akan terjerumus dalam kasus seperti ini (dalam Sulistyowati Irianto,Lim Sing Meij,Firliana Purwanti,Luki Widiastuti : 2005 ) .Bahkan sampai saat ini pun sudah banyak perempuan yang menjadi  korban dalam kasus ini.Masalah ini yang menjadi titik fokus karya ilmiah yang saya buat ini.
             Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk memberikan penjelasan bahwa sudah banyak perempuan asing maupun perempuan di Indoesia sendiri yang menjadi korban karena kasus seperti ini belum banyak didengar oleh orang-orang diluar sana mungkin hanya orang-orang tertentu yang mengetahui tentang kasus ini, sehingga untuk perempuan yang belum terjerumus dalam hal seperti ini sebaiknya lebih waspada atau berhati-hati agar tidak bertambah banyak korban perempuan yang bisa merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.
                                  
2.Definisi Narkotika

Dalam Undang-Undang nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika disebutkan bahwa istilah narkotika diartikan dengan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau buka tanaman baik sintetis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,hilangnya rasa,mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalan undang-undang UU No. 22/1997 tentang narkotika atau yang kemudian ditetapkan dengan keputusan Menteri kesehatan.
            Lebih lanjut dalam undang-undang tersebut (pasal 2) disebutkan bahwa narkotika digolongkan menjadi nrkotika golongan I ,narkotika golongan II,dan narkotika golongan III ( Wahdi ,Razak,Abdul,Sayuti : 2006  )

3.Perdagangan Perempuan di Indonesia

Isu perdagangan perempuan di Indonesia membuat Perkumpulan Istri Indonesi ( PPII) dalam kongresnya kedua di Surabaya tahun 1930 mendirikan Perkumpulan pemberantasan  Perdagangan Perempuan dan Anak-Anak (P-4A).Masalah perdagangan wanita  tetap menjadi keprihatikan gerakan perempuan.Persoalan ekonomi menjadi alasan utama terjadinya perdagangan perempuan.Hal ini diungkapkan oleh Datu Tumenggung bahwa “kondisi ekonomi,perceraian sepihak dan poligami telah mendorong perempuan-perempuan muda jatuh ke pelukan tangan orang-orang yang mencari penghidupan dengan membujuk gadis-gadis yang lugu.”
            Perdagangan perempuan semakin menjadi-jadi pada masa pedudukan Jepang.Pada masa itu, pengerahan perempuan dilakukan penjajah Jepang dengan alasan perang dan kemamkuran Asia Timur Raya(dalam Sulistyowati Irianto,Lim Sing Meij,Firliana Purwanti,Luki Widiastuti : 2005 ) .
            Jaringan perdagangan perempuan tidak bisa dipisahkan dari batas-batas negara yang semakn mudah dilintasi.Mereka mempunyai jaringan lintas negara yang tersrtuktur rapi dan sangat rahasa keberadaannya.Perempuan dibelahan dunia manapun dapat menjadi mangsa.Dalam perkembangan mutakhir,perdagangan perempuan mencakup berbagai macam tjuan.Dijadikan pengemis,buruh migran,keperluan pengambilan organ tubuh dan yang jarang disadari oleh masyarakat luas adalah perdagngan perempuan untuk mengedarkan narkotika.
            Menjadikan perempuan sebagai objek perdagangan dengan merekrut mereka kedalam jaringan pengedaran narkotika merupakan fenomena yang baru diketahui.Tahap akhir dari proses perekrutan yang panjang menempatkan mereka sampai ke penjara dan bahkan mereka mendapat ancaman hukuman mati.Brikut adalah sekilas tentang salah satu penjara wanita Tangerang,Jawa barat,dengan penghuni terbesar perempuan yang dituduh melakukan kejahatan mengedarkan narkotika.

4.Perempuan pengedar narkotika ,penghuni terbesar LPWT

Awalnya,penjara wanita ini berlokasi di Bukit Duri lalu pindah ke Tangerang sejak 5 Februari 1981.Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang (LPWT) bersebrangan dengan Lembaga Pmasyarakatan Laki-Laki.LPWT terletak di tepi jl.Moh.Yain yang disebelah utar ,sedangkan bagian timur dan barat dikelilingi tanah kosong.LPWT kelas IIA berdaya tampung 250 orang.Ketika penelitian ini dilakukan,jumlah penghuninya 194 oranv.Terdiri atas 153 orang berstatus narapidana sedangkan 37 orang berstatus tahanan dan 4 orang anak narapidana yang lahir disitu.Anak yang dilahirkan disitu boleh tinggal sampai berumur 2 tahun.Diantara narapidana ,ada 6 orang berkewarganegaraan asing.Sebanyak 97 orang atau lebih dari 50 % seluruh narapidana adalah mereka yang tersangkut kasus narkotika baik sebagai pemakai maupun pengedar(dalam Sulistyowati Irianto,Lim Sing Meij,Firliana Purwanti,Luki Widiastuti, 2005 : 24 ) .
            Didalam LPWT banyak kegiatan-kegiatan yang dilakukan penghuni LPWT layaknya seperti prempun pada umumnya seperti memasak,meronce membuat berbagai macam kerajinan tangan,senam setiap pagi,menyapu lapangan dll, adapun fasilitas seperti pelayanan kesehatan.Para penghuni LPWT diperbolehkan menonoton televisi yang boleh ditonton 3 kali seminggu yaitu hari Kamis ,Sabtu dan Minggu selama beberapa jam.Adapun kegiatan pembinaan yng dilakukan antara lain adalah pendidikan dan pengajaran agama,kursus keterampilan,latihan kerja,kesenian dan olahraga,dan juga kursus kilat merias wajah.
            Bagi narapidana yang hukumannya hampir selesai,dipindahtugaskan ke bagian kebersihan di depan penjara,seperti menyapu,memotong rumput,dan membersihkan saluran air.Mereka diawasi oleh petugas LPWT yang sdang santai sambil sarapan pagi di kios.Hampir setiap hari selalu ada yang mengunjungi LPWT.

5.Ketika perempuan dijadikan pengedar narkotika

Perempuan yang terjebak bisnis nakotika sebenarnya dapat dikategorisasikan sebagai korban perdagangan perempuan.Dalam bisnis ini perempuan terkait dengan kekuasaan yang timpang.Mereka terjerat dalam lingkaran kekerasan.Mereka tidak memiliki posisi tawar.Dalam hal ini,laki-laki sangat berkuasa untuk menyuruh perempuan yang tergantung padanya secara ekonomi dan psikologis melakukan apa saja yang dikehendakinya.Dalam kondisi timpang inilah praktek perdagangan perempuan terjadi.Praktek ini harus dianggap sebagai suatu kejahatan terhadap kemanusiaan.
            Bisnis ini dapat dikategorikan sebagai perdagangan perempuan karena yang pertama diwali dengan rekrutmen perempuan menggunakan penipuan dalam berbagai bentuk terutama melalui hubungan seperti pacaran ,perkawinan,hidup bersama dan hubungan lain antara perempuan  dan pengedar atau pemilik narkotika yang sesungguhnya.kedua,ada orang-orang yang mendapat keuntungan dari bisnis ini.Merekalah para pelaku sesungguhnya ,sedangkan perempuan hanya sekedar mendapat upah atau dijanjikan mendapat upah,yang tidak seberapa dibandingkan dengan resiko menghadapi hukuman mati.Ketiga,adanya unsur migrasi.Ada upaya untuk memigrasikan perempuan dari satu tempat ke tempat yang lain,bahkan melintasi batas negara.Semua terpidana mati kasus narkotika tertangkap di bandara,dan adanya perempuan berkewarganegaran asing yang tertangkap di Indonesia.Keempat,adanya unsur kekerasan.Kisah hidup perempuan-perempuan dalam penelitian ini menunjukan adanya ancaman,penipuan,penyalahgunaan kekuasaan,kekerasan dalam rumah tangga bagi mereka yang dikawini oleh para pelaku.Termasuk adanya penyekapan dan pemasungan kebebasan yang dialami korban. (dalam Sulistyowati Irianto,Lim Sing Meij,Firliana Purwanti,Luki Widiastuti, 2005 :66 ) .


6.Sejarah perundang-undangan narkotika di Indonesia

Melihat kecenderungan terus meningkatnya penyalahgunaan narkotika di Indonesia ,pemerintah Indonesia secara terus-menrus melakukan formulasi perundang-undangan tentang narkotika. Hal ini tidak untuk lebih membuat jera para penyalahguna narkotika ,serta merespon kalangan masyarakat yang secara simultan terus menerus berjuang untuk membebaskan Indonesia dari penyalahgunaan narkotika demi kemajuan bangsa ( Dwidja Priyatno : 2006 ).
            Undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika diundangkan pada tanggal 1 September 1997 .Sebelum lahirnya undang-undang nomor 22 tahun 1997 ini,pemerintah telah meberlakukan undang-undang no. 9 tahun 1996 tetang narkotika.Namun undang-undang tersebut  tidak dpat diperhatikan karena kualitas kejahatan narkotika yang meningkatkan  dan menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat tidak dapat diatasimoleh undang-undang nomor 9 tahun 1996 tersebut.

7.Pengedaran narkotika

Masalah yang menyangkut jual beli narkotika disini,bukan hanya jual beli dalam arti sempit,akan tetapi juga termasuk pula perbuatan impor,ekspor dan tukar-menukar narkotika.
Masalah ini diatur dalam pasal 82 undang-undang narkoika ,salah satu contoh sebagai berikut :
            Pasal 82 undang-undang no. 22 tahun 1997 berbunyi : Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum : Mengimpor,mengekspor,menawarkan untuk dijual dan sebagainya seperti kokain, ganja,berbagai jenis opiumdan heroin dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak 1 miliyar. Kedua mengimpor,mengekspor,menawarkan untuk dijual ,menjadi perantara dalam jual beli seperti morfin dan opium dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak lima ratus juta.Ketiga mengimpor, mengekspor,menawarkan untuk dijual ,menjadi perantara dalam jual beli seperti jenis turunan opium tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak tiga ratus juta ( Wahdi ,Razak,Abdul,Sayuti : 2006 )


  
8.Analisis terhadap vonis pengadilan pengedaran narkotika

Berdasarkan vonis yang dijatuhkan,tampak bahwa sistem hukum tidak mengakomodasi pengalaman perempuan dalam peradilan sebagai bahan pertimbangan keputusan.Padahal pidana mati adalah ancaman hukuman yang sangat serius.Oleh karena itu,kami melakukan konfirmasi silang dengan hakim yang mmeriksa kasus ini untuk mengetahui dasar pertimbangan putusan yang mereka ambil.Perempuan yang menjadi tersangka,terdakwa atau teroidana didepan hukum seharusnya sama kedudukannya dengan pria.Pasal 15 Konvesi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita,yang diratifikasi  melalui UU No.7 /1984,mewajibkan negara memberikan persamaan hak kepada perempuan dan pria di depan hukum.Hak memebela diri adalah hak setiap terdakwa ,baik laki-laki maupun perempuan.Faktor-faktor apa yang memotivasi para terdakwa terjerumus dalam prektek pengedarn narkotika sebenarnya merupakan subtansi penting untuk dijadikan bahan pembelaan diri.Pengalaman dan motivasi terebut seharusnya dikemukakan dalam persidangan,tetapi dalam kenyataannnya perempuan tidak berkesempatan untuk melakukan pembelaan diri semaksimal mungkin.Keterbatasan akses karena kedudukannya yang rentan sebagai terakwa,dan ketiadaan perspektif perempuan dari para penegk hukum yang mengadili kasus mereka,menyebabkan sulit terwujud kesetaraan hak di muka hukum untuk membela diri bagi terdakwa perempuan (dalam Sulistyowati Irianto,Lim Sing Meij,Firliana Purwanti,Luki Widiastuti, 2005 : 18 ).

9.Penyelesaian tindak pidana narkotika

Dalam undang-undang nomor 22 tahun 1997 ditegaskan bahwa perkara pidana nrkotika merupakan pidana yang harus di dahulukan oleh pengadilan.Hal ini dalam hukum lazim disebut dengan asas lex specialis de rogaat lex generalis ,yaitu ketentuan khusus menyampingkan ketentuan umum ( Dwidja Priyatno : 2006 ).
            Sejalan dengan asas tersebut ,maka penyelesaian perkara-perkara narkotika harus didahulukandari perkara-perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna mendapatkan pemeriksaan dan penyelesaian dalam waktu yang singkat,sesuai dengan semangat yang tercantum dalam undang-undang nomor 22 tahun 1997 pasal 64 yang berbunyi :
            “perkara narkotika termasuk perkara yang didahulukan dari pekara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian secepatnya”.

10.Contoh kasus analisis terhadap vonis pengadilan pengedaran narkotika

Kasus PRN :
            Majelis hakim berpendapat bahwa alasan PRN mendapat ancaman,paksaan maupun kekerasan dari suami terdakwa,bukanlah merupakan alasan  yuridis untuk melepaskan PRN dari tindak pidana yang dilakukannya,menurut.Hakim seharusnya PRN melaporkan tindakan suaminya kepada aparat yang berwenang,apalagi suami PRN lebih sering beraktifitas diluar rumah.Bukankah ini merupakan waktu dan kesempatan bagi PRN untuk melepaskan diri dari tindakan suaminya.Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim,kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah alasan yuridis untuk menjadi pertimbangan hukum yang meringankan PRN dari tindak pidana yang dilakukannya.
            PRN tidak mengadukan masalah KDRT kepada yang berwenang dan saat polisi memeriksa ke rumahnya PRN ketakutan jika polisi akan menemukan heroin dirumahnya.Jika polisi menemukannya maka PRN akan dengan mudah dituduh yang memiliki barang dalam rumah itu,padahal barang tersebut adalah milik suaminya.Saat itu, Toni (suami PRN) sedang tidak berada dirumah.
            Pertimbanangan PRN,kalaupun Tony ditangkap,kemungkinan besar ia bisa bebas karena ia mempunyai banyak uang untuk membayar polisi atau pengacara.Sementara itu PRN tidak mempunyai uang sama sekali.PRN mengaku bahwa pengacaranya yang selama ini membantunya dalam proses pengadilan tidak dibayar olehnya.PRN mengira bahwa pengacaranya dibayar oleh orang-orang berkulit hitam ( teman2 suaminya).Sebagaimana yang dibahas sebelumnya bahwa PRN cenderung untuk melindungi suaminya,mengingat Tony adalah ayah dari kedua anaknya dan PRN masih mencintainya.Karena rasa cinta terhadap Tony dan kedua anaknya itulah PRN mau membantu pekerjaan suaminya.Dari ilustrasi diatas maka tampak bahwa relasi antara PRN dan Tony adalah relsi yang sangat tidak seimbang.Posisi PRN ada pada subordinat bila dibandingkan dengan posisi Tony.
            Pasal 48 KUHP mengatur bahwa “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.Menurut pasak 48 KUHP yang dimaksut dengan daya paksa adalah perbuatan yang dilakukan dibawah pengaruh tekanan atau kekuatan,terhadap mana terdakwa tidak dapat mengadakan perlawanan.Termasuk dalam perbuatan itu adalah menyuruh PRN untuk membantu suamu melakukan  berbagai pekerjaan seperti mengantarkan narkotika,membeli tiket,membuat visa dan merekrut orang untuk membawa “barang”.Dengan demikian,bahwa alasan hakim untuk tidak memperhitungkan KDRT yang dialami PRN bukan alasan yuridis,harus ditinjau kembali.
            Berdasarkan uraian diatas ,sebenarnya PRN adalah korban perdagangan perempuan.Karena kegiatan dia dalam pengedaran narkotika pada mulanya telah memenuhi unsur rekrutmen dengan tipu daya ,ancaman dan pemaksaan,ada perpindahan dalam melakukan pekerjaan yang berbahaya dan beresiko (dalam Sulistyowati Irianto,Lim Sing Meij,Firliana Purwanti,Luki Widiastuti, 2005 : 90 ).
            Namun perlu ditekankan disini bahwa ada masa-masa tertentu,dimana PRN dapat dikategorikan sebagai trafficker,yaitu ketika ia menegtahui apa pekerjaan suaminya yang sebenarnya.Bahkan ketika ia mengetahui suaminya menjalin hubungan dengan perempuan lain dan ia khawatir ditinggalkan oleh suaminya itu,ia meminta bayaran untuk pekerjaan yang dia lakukan.Sejak saat itu PRN menjadi partner dalam bisnis suaminya.Namun apa yang dilakukan PRN ketika ia memutuskan untuk menjadi partner dalam bisnis suaminya itu sebenarnya adalah strateginya untuk bisa bertahan hidup.

11.Pengalaman korban dalam peradilan di pengadilan

kasus MUT :
            Hak tersangka untuk bebas dari rasa takut selama pemeriksaan sehingga hasil persidangan tidak menyimpang dari yang seharusnya,tampak tidak dijalankan dengan baik.Dalam pemeriksaan MUT menerima penganiyaan berupa pemukulan dan tendangan.Ini dilakukan agar ia memberi keterangan yang sesuai dengan apa yang diharapkan aparat.Ini dapat dianggap sebagai suatu daya paksa.Ini menunjukan adanya penyimpangan dalam pemeriksaan.
            Namun MTU merasa cukup puas dengan pembelaan yang diberikan oleh penasihat hukumnya.penasihat hukum yang pertama dianggap MUT tidak terlalu kompeten dalam memberikan pembelaan.Kemudian pengacara itu diganti dengan pengacara yang berasal dari sukarelawan gereja.MUT tidak dituntut pembayaran apapun untuk layanan hukum yang diperolehnya itu.Ia sendiri tidak mengetahui siapa yang membiayai pengacara tersebut (dalam Sulistyowati Irianto,Lim Sing Meij,Firliana Purwanti,Luki Widiastuti, 2005 : 104 ).

12.Pertimbangan hakim dalam membuat putusan  

Dasar pertimbangan para hakim dalam membuat putusan pada umumnya sama.Mereka harus membuktikan adanya unsur-unsur dari pasal-pasal yang dituntut oleh jaksa penuntut umum.Khusus dalam hal ini sebagian informan dikennkan pasal 82 butir (a) UU No. 22 tahun 1997 tentang narkotika yang antara lain berbunyi,”...mengimpor, mengekspor,menawarkan untuk dijual ,menyalurkan,menjual,membeli, menyerahkan,menerima ,menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan I,dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup , atau pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak satu miliyar rupiah.
            Ada beberapa hakim yang mempertimbangkan bahwa latar belakang sosial ekonomi terdakwa itu termasuk yang harus dipertimbangkan.Namun pertimbangan itu nampaknya terbatas sekali,atau bahkan tidak terimplementasi.Menurut Hakim ORS,ketika modus sudah jelas terutama dalam kasus narkotika,pertimbangan yang meringankan tidak diperhitungkan lagi (dalam Sulistyowati Irianto,Lim Sing Meij,Firliana Purwanti,Luki Widiastuti, 2005 : )i.
            Jelaslah mengapa dalam putusan hakim sering tercantum “nihil” tidak ada pertimbangan yang meringankan dalam putusan hukuman maksimal pada pidana mati.Sebenarnya ada hakim yang beranggapan bahwa faktor ekonomi bisa saja dijadikan dasar peringan,namun karena mereka memberikan hukuman maksimal,maka tidak relevan apabila ia mencantumkan dasar peringan dalam putusan.

13.Pemahaman hakim tentang konsep perdagangan perempuan

Salah satu bentuk perdagangan perempuan adalah memanfatkan perempuan sebagai pengedar narkotika.Oleh karena itu,agar dapat mengaitkannya dengan pengedaran narkotika,para penegak hukum perlu memahami tentang apa perdagangan perempuan itu.Akan tetapi, pemahaman mereka perihal perdagangan perempuan terbatas (dalam Sulistyowati Irianto,Lim Sing Meij,Firliana Purwanti,Luki Widiastuti : 2005).
            Nampaknya bentuk perdagangan perempuan yang diketahui oleh para hakim sebatas perempuan sebagai pekerja seks komersial.Sulit bagi hakim untuk memahami bahwa perempuan atau laki-laki pengedar narkotika kemungkinan adalah korban perdagangan perempuan yang tak berdaya.Ada beberapa hakim yang mengetahui sedikit konsep bahwa perdagangan perempuan itu da unsur komersialnya.Namun tidak tertangkap bahwa sebenarnya ada kaitan antara perdagangan perempuan dengan pengedaran narkotika.
            Beberapa hakim merefleksikan pengertian bahwa perdagangan perempuan adalah menyalahgunakan perempuan untuk tujuan komersial (ada pihak yang mendapatkan keuntungan ),motivasi terselubung (penipuan),dan perempuan menjadi komoditi ( eksploitasi dengan pekerjaan yang beresiko tinggi).Namun hakim tidak mengaitkannya yang mereka tangani.mereka hampir menyadari bahwa terdakwa perempuan dalam kasus pengedaran narkotika itu,sebenarnya telah memenuhi unsur penipuan dan peralatan.

14.Kesimpulan

Berdasarkan pada analisis dan paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa pemberantasan narkotika memerlukan kepedulian khusus dan menjadi tanggung jawab semua,karena ini menyangkut masa depan generasi penerus bangsa.Dalam penelitian diatas dipaparkan bahwa perempuan lah yang dijadikan kurir dalam jual beli narkotika.Salah satu alasan perempuan yang dijadikan kurir karena adanya stereotyping masyarakat bahwa karena seksualitasnya,perempuan akan tidak mudah dicurigai jika membawa barang-barang ilegal ,mudak dikorbankan,tidak memiliki akses kepada informasi,dan biasanta berada pada posisi rentan ,yaitu sebagai survivor dalam mengatasi kemiskinan keluarga.
            Kasus ini merupakan kasus yang sulit untuk diidentifikasi apabila tidak serius penanganannya.Perempuan menjadi korban perdagangan perempuan ketika diperlakukan sebagai kurir dalam perdagangan narkotika.Vonis di pengadilan yang tidak mempertimbangkan sesuai pengalaman perempuan yang menjadi korban menunujukan bahwa hukum tidak sensitif terhadap pengalaman perempuan.Hukum juga tidak berpihak pada perempuan karena telah menempatkan mereka sebagai kriminal,bukan sebagai korban dalam perdagangan perempuan.Ini merupakan hal yang salah dan tidak seharusnya terjadi pada perempuan yang sebenarnya menjadi korban.Jika hal itu berlanjut pada pengadilan maka akan sangat merugikan pada perempuan-perempuan yang sebenarnya harus mendapat keadilan dalam kasus ini.
            Pada intinya faktor-faktor yang mempengaruhi perempua terperangkap dalam pengedaran narkotika ini adalah faktor ekonomi,kepolosan atau ketidaktahuan,hubungan kekuasaan yang timpang antara perempuan dan laki-laki dan juga faktor agama yang menempatkan meeka pada posisi yang lemah.Dalam keadaan yang tidak berdaya mereka tidak memiliki strategi apapun untuk melakukan perlawanan pada laki-laki yang telah menjadikannya kurir narkotika.
            Pemaknaan hukum bagi perempuan korban dalam pengedaran narkotika adalah hukum tidak berpihak pada perempuan yang dimana dia sebagai korban dan kerangka berfikir yang sangat legistis meniadakan suara mereka.

Referensi
Irianto,Sulistyowati , Sing Meij,Lim , Purwanti,Firliana , Widiastuti,Luki. 2005. Perdagangan Perempuan dalam Jaringan pengedaran Narkotika. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Priyatno,Dwidja. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Bandung : PT.Refika Aditama

Razak,Abdul , Sayuti,Wahdi. 2006. Remaja dan Bahaya Narkoba. Jakarta : Prenada Media Group

Tidak ada komentar:

Posting Komentar