Minggu, 29 Desember 2013

Pendidikan dalam Perspektif Pesantren



Oleh A.Niam Ibna Riza
Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang


Abstrak
Mencemaskan bila melihat kejadian-kejadian negatif yang melibatkan pelajar di Indonesia, misalnya saja tawuran antar pelajar yang tak kunjung usai, narkoba, bahkan kasus video mesum. Hal tersebut terjadi karena hilangnya nilai-nilai moralitas yang luntur akibat kurangnya kepedulian sekolah.
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren tidak hanya mendidik para santri ilmu agama, melainkan juga membekalinya dengan akhlak yang menjadi karakter khas dari seorang santri. Karena itu, tidak berlebihan ketika pesantren dikatakan sebagai sumber pendidikan karakter untuk menjawab persoalan bangsa. Kasus yang banyak terjadi pada siswa ialah karena kurangnya pendidikan karakter pada diri mahasiswa.
Satu hal kekhasan yang dimiliki oleh pesantren dan sangat sulit ditiru oleh lembaga pendidikan lainnya adalah kuatnya penanaman akhlak-akhlak terpuji. Label ‘santri’ pun secara dzahir telah identik dengan keshalehan, baik itu secara individu maupun sosial. Hal ini wajar, karena pembiasaan aplikasi akhlak terpuji telah mendarah daging dalam dunia pendidikan pondok pesantren. Kyai sebagai sentral figur di dalamnya memberikan uswah dan qudwah hasanah dalam pendidikan akhlak. Karena penanaman akhlak lebih mengena dengan perbuatan daripada penjejalan materi di dalam kelas, maka pendidikan akhlak di pondok pesantren sangat mengena di benak para santrinya. Itu pulalah ternyata yang menginspirasi Kemendiknas untuk memasukan unsur-unsur pendidikan karakter di sekolah-sekolah, yang diakui terinspirasi dari pendidikan akhlak pondok pesantren.
Tujuan dari pendidikan ialah meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang (Pasal 31 ayat 3) Dalam pasal ini dijelaskan bahwa tujuan dari pendidikan di Indonesia adalah bertujuan meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia pada pelajar pada realitanya seperti jauh api dari panggang. Sistem pengajaran yang diberikan sekolah terhadap siswanya sebagian besar ialah hanya berorientasi kepada kecerdasan intelektual semata (intelegensia) sedangkan penanaman nilai-nilai karakter (character education) pada diri sisawa sangat kurang sekali.
Dalam tulisan ini saya membahas tentang bahasan mengenai pola pendidikan di pesantren, dan juga penanaman nilai-nilai dalam menuntut ilmu
Kata Kunci : Pesantren, Moral Pelajar, Pendidikan, Nilai-nilai Karakter
1.      Pendahuluan
Melihat pendidikan Indonesia saat ini sungguh memprihatinkan. Banyak kasus pelajar saat ini tidak mencerminkan sikap “kaum terpelajar”. Contoh riilnya kejadian tawuran yang tak kunjung selesai, belum lagi kasus narkoba, tindakan asusila yang [bahkan] melibatkan gurunya sendiri (lihat detik.com, 2013). 
Apabila kita melihat pada undang-undang tentang sistem pendidikan dijelaskan bahwa tujuan dari pendidikan ialah meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang (Pasal 31 ayat 3) Dalam pasal ini dijelaskan bahwa tujuan dari pendidikan di Indonesia adalah bertujuan meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia pada pelajar pada realitanya seperti jauh api dari panggang. Sistem pengajaran yang diberikan sekolah terhadap siswanya sebagian besar ialah hanya berorientasi kepada kecerdasan intelektual semata (intelegensia) sedangkan penanaman nilai-nilai karakter (character education) pada diri sisawa sangat kurang sekali. Peserta didik dituntut hanya cerdas intelektual dengan mampu mengerjakan soal-soal ujian dan mempunyai keterampilan dan bakat tetapi pada satu sisi seperti pendidikan moral dan perilaku adab sopan santun dan berperilaku jujur sangat sedikit sekali ditanamkan, para pendidik merasa cukup dengan mengajarkan keterampilan dan pengetahuan dan menganggap adab, sopan santun perilaku itu akan mnucul dengan sendirinya setelah memiliki pengetahuan yang cukup, padahal kita tahu bersama bahwa karakter sangat banyak ditentukan oleh lembaga pendidikan dan lingkungan.
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren tidak hanya mendidik para santri ilmu agama, melainkan juga membekalinya dengan akhlak yang menjadi karakter khas dari seorang santri. Karena itu, tidak berlebihan ketika pesantren dikatakan sebagai sumber pendidikan karakter untuk menjawab persoalan bangsa. Kasus yang banyak terjadi pada siswa ialah karena kurangnya pendidikan karakter pada diri siswa.
Dalam institusi pesantren ketika ada seorang santri yang pertama masuk bukan langsung didik denagn ilmu-limu pengetahuan seperti ilmu nahwu, sorof, balaghoh, mantiq dan bayan tetapi para santri terlebih dahulu diajari adab sopan santun dan ketakdziman terhadap sang kiai, oleh karena itu biasanya kitab yang pertama kali adalah kitab ta’lim almuta’alim dalam kitab tersebut memuat tentang adab seroang santri ketika belajar, oleh karena itu walaupun mungkin ada tapi sangat sedikit sekali santri yang tawuran dangan santri lainya, santri yang membunuh gurunya atau santri yang terlibat dengan skandal sex bebas dan narkoba, dalam pandangan penulis keberhasilan penanaman karakter tersebut bukan saja disebabakan oleh didikan agama saja tetapi juga oleh pendidikan moral dalam pesantren.
Sang Kiai lebih banyak memberikan pembelajaran riyadah berupa nasihat dan contoh nyata dalam keseharian. Namun, apabila dirasakan perlu, kiai akan memberikan wejangan dan nasihat pada hari, waktu, dan tempat tertentu. Setiap santri diberi wejangan mengenai hal kejujuran setiap bakda Sholat Subuh, meskipun tidak rutin atau disisipkan ketika pelajaran mengenai aqidah dan akhlak. Kejujuran terlihat dengan kondisi lingkungan di mana hampir jarang ruangan dikunci walau di dalamnya banyak berisi benda berharga. Bahkan, HP kiai dan ustad sering tergeletak di mana saja dan ternyata aman tanpa adanya kehilangan. Kejujuran juga diajarkan kepada santri dalam hal belajar. Misalnya, kiai memerintahkan setiap selesai Sholat Maghrib dan Subuh harus tadarus. Para santri dengan sendirinya melaksanakan tadarus tersebut tanpa ada kontrol yang ketat.
 Pesentren sebagai lembaga pendidikan pertama di Indonesia telah banyak melahirkan generasi-generasi emas, pondok pesantern telah menorehkan tinta emas dalam peradaban sejarah bangsa indonesia. Pesantren bukan saja lembaga tempat mencari dan menuntut ilmu tetapi juga tempat penggemblengan karakter pada diri santri, ketika lulus dari pesnteran sang santri tersbut diharapkan dapat menerapakan ilmu pengetahuan dan dapat memberikan contoh dan teladan bagi masyarakat. Hal ini yang tidak terdapat dalam pendidikan umum, sekolah sekolah dan perguruan tinggi. Dalam hal ini bukan berarti penulis menghendaki semua metode pesantren diterapkan dalam lingkungan sekolah penerapan pendidikan karakter yang ada dalam pesntern diberlakukan pada pondok pesntern tentu saja dengan adanya penyesuaian daaptasi dan disesuaikan dengan perkembangan jaman supaya tidak terlihat kaku dan kuno.
2.      Perilaku Pelajar saat ini
Seperti yang kita tahu bahwa perliaku pelajar saat ini sungguh memprihatinkan, banyak pelajar yang tawuran, mengkonsumsi narkoba, tindak asusila, dan lain sebagainya. Seperti kasus video mesum siswa SMP di Jakarta yang sungguh menggemparkan dunia pendidikan kita. Menurut KPAI sebagian besar anak kelas 4-6 SD sudah banyak yang mengetahui tentang pornografi (lihat detik.com, 2013).
3.      Proses Pendidikan ala Pesantren
Apa yang terngiang dalam benak anda ketika mendengar kata ‘pondok pesantren’? Tentunya berbagai macam tanggapan akan lahir dalam benak anda tergantung dari seberapa besar perkenalan anda dengan dunia pondok pesantren. Dari sekian pendapat, ada yang melihat dengan kaca mata positif, dan tidak sedikit pula yang berkonotasi negatif. Ya, itu tadi tergantung dari sejauh mana anda mengenal dunia pendidikan khas Islam ini. Namun apakah sebenarnya pondok pesantren itu? Dan apa yang terkandung di dalamnya?
Pondok pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan yang memiliki ciri-ciri khas yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya di dunia. Salah satu kekhasan yang dimilikinya adalah melekatnya peran para kyai sebagai tokoh sentral di dalamnya. Mereka mendapatkan keistimewaan lebih karena biasanya kyai adalah pendiri atau keturunan dari pendiri pondok pesantren yang dengan ikhlas tanpa pamrih membangun pondok pesantren untuk kemajuan ummat. Jarang dari mereka yang memiliki ambisi duniawi ketika membangun fondasi pondok pesantren.
Sentral yang kedua yang tidak dapat dipisahkan dari pondok pesantren adalah masjid. Dalam hal ini masjid berfungsi sebagai pusat kegiatan santri, para penghuni pondok pesantren. Masjid di pesantren tidak berfungsi sekuler, yakni untuk amalan-amalan ukhrowi saja, tapi juga sebagai pusat ekonomi, pembelajaran, dan pemberdayaan. Maka biasanya bangunan yang pertama kali ada dalam sebuah pondok pesantren haruslah masjid, meskipun di kemudian hari tradisi ini mulai berubah.
Pondok pesantren lekat sekali dengan pengkajian ilmu-ilmu ketuhanan (divinity). Para santri bertafaqquh fiddin agar mereka dapat menjadi penyeru bagi ummat-ummatnya. Selain itu, ilmu-ilmu kauniyah pun tidak luput dari kajian mereka. Mereka belajar tauhid, fiqh, al-quran, assunah, sekaligus astronomi, fisika, biologi, kimia, ekonomi, sejarah dan disipilin ilmu lainnya. Dalam dunia pondok pesantren tidak dikenal dikotomi ilmu. Yang ada adalah kesadaran bahwa semua ilmu sumbernya satu: al-‘Alim, Yang Maha Mengetahui. Tentunya ilmu ketuhanan memiliki porsi lebih, hal ini karena berkaitan dengan jenjang prioritas dalam pengklasifikasian ilmu (Syaikh Az-Zarnuji, 2012).
Satu hal kekhasan yang dimiliki oleh pesantren dan sangat sulit ditiru oleh lembaga pendidikan lainnya adalah kuatnya penanaman akhlak-akhlak terpuji. Label ‘santri’ pun secara dzahir telah identik dengan keshalehan, baik itu secara individu maupun sosial. Hal ini wajar, karena pembiasaan aplikasi akhlak terpuji telah mendarah daging dalam dunia pendidikan pondok pesantren. Kyai sebagai sentral figur di dalamnya memberikan uswah dan qudwah hasanah dalam pendidikan akhlak. Karena penanaman akhlak lebih mengena dengan perbuatan daripada penjejalan materi di dalam kelas, maka pendidikan akhlak di pondok pesantren sangat mengena di benak para santrinya. Itu pulalah ternyata yang menginspirasi Kemendiknas untuk memasukan unsur-unsur pendidikan karakter di sekolah-sekolah, yang diakui terinspirasi dari pendidikan akhlak pondok pesantren.
4.      Penanaman Nilai-nilai dalam Menuntut Ilmu
Karena rusaknya karakter pelajar di Indonesia yang cenderung bergaya hidup “western”, maka pelajar perlu mengetahui apa saja hal-hal yang ditanamkan dalam “menuntut ilmu”
a.       Niat dalam mencari ilmu
Pendidikan identik dengan “mencari ilmu” atau “menuntut ilmu”, maka dalam mencari ilmu pelajar harus menata niatnya ketika akan “mencari ilmu”. Niat pelajar dalam menuntut ilmu harus ikhlas mengharap ridha Allah, mencari kebahagiaan di akhirat menghilangkan kebodohan dirinya. Dalam menuntut ilmu juga harus didasari niat untuk mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan. Jangan sampai terbesit niat supaya dihormati masyarakat, untuk mendapatkan harta dunia, atau agar mendapat kehormatan di hadapan pejabat atau lainnya.
Boleh menuntut ilmu dengan niat dan upaya mendapat kedudukan di masyarakat kalau kedudukan tersebut digunakan untuk amar ma’ruf nahi munkar, dan untuk melaksanakan kebenaran, serta untuk menegakkan agama Allah. Bukan untuk mencari keuntungan diri sendiri, juga bukan karena keinginan hawa nafsu. Semua itu perlu direnungkan oleh para penuntut ilmu, supaya ilmu yang mereka cari dengan susah payah tidak sia-sia. Oleh karena itu dalam mencari ilmu jangan punya niat untuk mencari dunia yang hina dan fana itu (Syaikh Az-Zarnuji, 2012).
 b.      Penghormatan Terhadap Ilmu dan Guru
“Para pelajar tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat mengambil manfaatnya, tanpa mau menghormati ilmu dan guru”.  Berikut beberapa bentuk penghormatan terhadap guru (1) hendaknya seorang murid tidak berjalan di depannya (2) tidak duduk ditempatnya (3) tidak memulai berbicara padanya kecuali atas ijinnya. Sedangkan bentuk penghormatan terhadap ilmu diantaranya : (1) menghormati teman dan orang yang mengajar (2) mendengarkan apa yang disampaikan oleh guru dengan rasa hormat, sekalipun sudah pernah mendengarkan sebelumnya.
Dari paparan tadi dapat kita kaitkan dengan kejadian-kejadian yang mengakibatkan pelajar saat ini berperilaku “kurang terdidik”. Misalnya saja kasus tawuran pelajar yang [bahkan] menggunakan air keras sehingga memakan satu orang korban siswa SMA Muhammadiyah I, Kemayoran, Jakarta Pusat (lihat detik.com. 2013).
Hal tersebut terjadi karena pelajar saat ini tidak benar-benar menghormati ilmu yang diperolahnya, sehingga “keberkahan” dari ilmu hilang dari diri pelajar.
c.       Kesungguhan dalam Mencari Ilmu
Dalam mencari ilmu modal yang diperlukan ialah kesungguhan. Segala sesuatu bisa dicapai asal mau bersungguh-sungguh dan bercita-cita luhur. Jika ada yang bercita-cita ingin pandai, tapi tidak mau bersungguh-sungguh dalam belajar, tentu dia tidak akan memperoleh ilmu kecuali sedikit. Adapun sifat malas itu timbul karena kurangnya perhatian terhadap keutamaan dari pentingnya ilmu. Sebagaimana dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib “Aku senang menerima pemberian Tuhan Maha Kuasa, kita diberi ilmu dan musuh-musuh kita (orang-orang kafir)diberi harta benda. Karena harta akan segera sirna, sedang ilmu itu abadi takkan pernah hilang ”.
Ilmu yang bermanfaat akan tetap dikenang sekalipun orang yang berilmu itu meninggal, karena ilmu yang bermanfaat itu abadi, Syaikh Murghinan berkata dalam sebuah syair : “orang bodoh hakikatnya mati sebelum mati, dan orang berilmu tetap hidup sekalipun sudah mati” (Syaikh Az-Zarnuji, 2012).
d.      Diskusi
Para pelajar harus sering mendiskusikan suatu pendapat atau masalah dengan teman-temannya. Diskusi tersebut harus dilakukan dengan tertib atau tenang. Tidak gaduh, tidak emosi. Karena tertib dan tenang dalam berfikir adalah tiangnya musyawarah. Dan tujuan musyawarah adalah mencari kebenaran. Tujuan itu akan tercapai bila orang-orang yang terlibat dalam diskusi atau musyawarah tersebut bersikap tenang, benar dalam berfikir dan lapang dada. Sebaliknya, hal itu tidak akan berhasil bila timbul kegaduhan dan saling emosi.
Jika tujuan diadakannya diskusi tersebut untuk saling mengalahkan hujah temannya, maka tidak diperbolehkan, diskusi itu diperbolehkan kalau tujuannya untuk mencari kebenaran, sedangkan mengaburkan persoalan atau jawaban, atau membeenci tanggapan dengan cara yang tidak semestinya, juga tidak diperbolehkan. Kecuali jika orang yang bertanya itu bermaksud mempersulit, tidak mencari kebenaran.
Dalam diskusi harus senang mengamati atau memikirkan pelajaran-pelajaran yang sukar dipahami, dan harus membiasakan hal itu. Karena banyak orang bisa mengerti setelah ia mau memikirkan. Oleh karena itu ada yang berkata, “perhatikanlah niscaya kamu akan mengerti”. Sebelum berbicara, harus berpikir dulu, supaya ucapannya benar, karena ucapan itu bagaikan anak panah, oleh karena itu harus diluruskan atau dipikir dulu sebelum berbicara, agar tidak salah.
e.       Mencari Tambahan Ilmu
Para pelajar harus menambah ilmu setiap hari agar mendapat kemuliaan. Harus selalu membawa buku dan pulpen, untuk menulis ilmu yang bermanfaat yang ia dengar setiap saat. Karena ilmu yang dihafal suatu ketika bisa lupa. Sedang ilmu yang ditulis akan tetap abadi. Ada yang berkata, “ilmu itu sesuatu yang diambil dari mulut orang-orang pandai karena mereka itu menghafal sebaik-baik yang mereka dengar. Dan mengatakan sebaik-baik yang mereka hafal”.
Pelajar harus bisa memanfaatkan kesempatan bersama para guru. Gunakan untuk menimba pengetahuan dari mereka. Karena kesempatan yang baik apabila telah hilang, tidak akan dijumpai lagi. Pelajar harus tahan menanggung penderitaan dan kehinaan ketika mencari ilmu. Ada yang berkata “ilmu itu luhur, tiada hina padanya. Namun ilmu tak bisa didapat kecuali dengan merendah”.      
f.       Wara’[1]
Sebagian ulama meriwayatkan sebuah hadits, dari Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa tidak berlaku wara’ ketika belajar ilmu, maka dia akan diuji oleh Allah dengan salah satu dari tiga macam ujian, mati muda, ditempatkan bersama orang-orang bodoh, atau diuji menjadi pelayan pemerintah.
Pelajar yang bersifat wara’ ilmunya lebih bermanfaat. Belajarnya lebih mudah. Termasuk sifat wara’ ialah menghindari rasa kenyang, banyak tidur, dan banyak bicara yang tidak berguna. Termasuk wara’ adalah menyingkir dari orang yang suka berbuat kerusakan dan maksiat. Serta senang menganggur. Karena bergaul dengan orang seperti itu bisa terpengaruh. Ketika belajar hendaknya menghadap ke kiblat. (Syaikh Az-Zarnuji, 2012)
5.      Santri di Era Globalisasi
Siapa yang tak kenal Mahfud MD (mantan ketua MK) beliau ternyata adalah lulusan pondok pesantren lirboyo walaupun lulusan pondok pesantren lirboyo tapi beliau berprestasi hingga melanjutkan studinya sampai mendapat gelar “prof”, yang mengherankan beliau lebih senang disebut “lulusan pesantren”(lihat yahoo.com, 2013).
Rofiq, seorang lulusan santri di Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Miftahul Ulum, Kota Pasuruan, ia adalah seorang pebisnis di bidang animasi. Karya yang pernah dibuatnya antara lain Bio Zone yang memenangi Juara I dan II & Best Viewer Choice Animation Naration (Animation Awards) dari Universitas Parahyangan, Bandung, serta Best Animation Malang Film Video Festival, Malang. Lalu, ada juga film Pentil-Pentol yang menjadi juara 1 Hellofest Vol. 1, Jakarta dan film animasi A Kite yang mendapat penghargaan khusus sebagai film animasi terbaik pada ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2008. Di ajang FFI itu pula Rofiq diganjar sebagai sutradara animasi terbaik. Belum lagi film animasinya yang berjudul “Songgo Rubuh” sukes ditayangkan di MNC TV pada 2012 (lihat swa.co.id, 2013)
Dari kisah sukses diatas dapat kita ketahui bahwa lulusan pesantren tak hanya mampu di bidang agama saja, tetapi mempunyai kemampuan untuk menghasilkan karya-karya yang hebat. Dengan demikian citra santri yang kuno tidak mempunyai pemikiran maju merupakan salah besar.
6.      Kesimpulan
Pesentren sebagai lembaga pendidikan pertama di Indonesia telah banyak melahirkan generasi-generasi emas, pondok pesantern telah menorehkan tinta emas dalam peradaban sejarah bangsa indonesia. Pesantren bukan saja lembaga tempat mencari dan menuntut ilmu tetapi juga tempat penggemblengan karakter pada diri santri, ketika lulus dari pesnteran sang santri tersbut diharapkan dapat menerapakan ilmu pengetahuan dan dapat memberikan contoh dan teladan bagi masyarakat. Hal ini yang tidak terdapat dalam pendidikan umum, sekolah sekolah dan perguruan tinggi. Dalam hal ini bukan berarti penulis menghendaki semua metode pesantren diterapkan dalam lingkungan sekolah penerapan pendidikan karakter yang ada dalam pesntern diberlakukan pada pondok pesntern tentu saja dengan adanya penyesuaian daaptasi dan disesuaikan dengan perkembangan jaman supaya tidak terlihat kaku dan kuno.
Penanaman nilai-nilai dalam menuntut ilmu diantaranya : (1) niat menuntut ilmu harus ikhlas mengharap ridha Allah, mencari kebahagiaan di akhirat menghilangkan kebodohan dirinya; (2) hormat terhadap guru dan hormat terhadap ilmu (3) Dalam mencari ilmu modal yang diperlukan ialah kesungguhan; (4) Para pelajar harus sering mendiskusikan suatu pendapat atau masalah dengan teman-temannya; (5) Pelajar harus bisa memanfaatkan kesempatan bersama para guru; (6) rendah hati terhadap ilmu yang ia pelajari.
Seiring berkembangnya zaman kini para santri juga tak hanya mampu di bidang agama saja. Melainkan bersaing membuat karya-karya dengan teknologi tinggi, misalnya produksi film animasi. Hal tersebut menjadikan citra santri lebih baik, intelek, dan melek teknologi.
Daftar Pustaka
Az-Zanuji. (2012). Terjemahan Ta’lim Muta’allim. Surabaya : Mutiara Ilmu.
Daftar Media Massa
Taufan Noor Ismailian. (2013). “KPAI: 76 Persen Kelas 4-6 SD di Jakarta Sudah Pernah Melihat Materi Pornografi” diunduh dari http://news.detik.com/read/2013/11/01/184648/2401932/10/kpai-76-persen-kelas-4-6-sd-di-jakarta-sudah-pernah-melihat-materi-pornografi?nd771104bcj pada tanggal 20 oktober 2013
 Anonim. (2011).Mahfud MD Lebih Suka Disebut Lulusan Pesantren” diunduh dari http://id.berita.yahoo.com/mahfud-md-lebih-suka-disebut-lulusan-pesantren-084011129.html pada tanggal 20 oktober 2013
 Denoan Rinaldi. (2013). “Mantan Santri yang Sukses di Bisnis Animasi” diunduh dari http://swa.co.id/headline/mantan-santri-yang-sukses-di-bisnis-animasi pada tanggal 10 Desember 2013



[1] Wara’ mengandung pengertian menjaga diri atau sikap hati-hati dari hal yang syubhat & meninggalkan yang haram. Lawan dari wara' adalah syubhat yang berarti tidak jelas apakah hal tsb halal atau haram.
Contoh: Seseorang meninggalkan kebiasaan mendengarkan & memainkan musik karena dia tahu bahwa bermusik atau mendengarkan musik itu ada yang mengatakan halal & ada yang mengatakan haram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar